Terbunuhnya Seorang Bupati - Arsif NKRI
Home » » Terbunuhnya Seorang Bupati

Terbunuhnya Seorang Bupati

Posted by AN
Arsif NKRI, Updated at: December 09, 2016

Posted by AN on Friday 9 December 2016




Apakah rajapati (pembunuhan) itu terjadi karena cinta, dendam atau politik?

TJUTJU SOENDOESIYAH (68) bertutur dalam nada haru. Sambil menunjuk Alun-Alun Cianjur, bibirnya tak henti mengisahkan sebuah tragedi tragis yang nyaris melegenda di kalangan orang-orang tua kami di Cianjur hingga kini. Ya, tepat 288 tahun lalu, di tempat saya bermain saat masa kecil itu, seorang pemuda dihabisi oleh para punggawa Dalem Aria Wiratanudatar III(1707-1726).

“Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara)”,ujar nenek dari 4orang cucu itu.

Praktek mutilasi tersebut dilakukan sebagai hukuman buat sang pemuda yang telah menusuk Dalem Wiratanu III dengan condre (sejenis badik tua khas sunda) hingga tewas. Namun apa yang menyebabkan si pemuda berlaku senekad itu? Ada banyak versi mengenai latar belakang pembunuhan tersebut. Salah satunya seperti yang dipercayai Tjutju: karena alasan sakit hati dan cinta.

Ceritanya suatu hari, Dalem Wiratanu III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, Sukabumi. Di sebuah desa terpencil, ia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang dalem yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya.

Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permintaan sinuwun dalem itu. Laiknya cacah kuricah (rakyat kecil) di sebuah kawasan yang memeluk erat feodalisme, mereka dikondisikan “terlarang” untuk mengatakan “tidak” kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Dalem Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa.

“Yap kadieu (ayo mendekatlah)…”,”panggil sang dalem dalam nada sumringah.

Dengan langkah pelan dan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Dalem Wiratanu III. Seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, sang dalem tak berkedip memandang wajah Apun Gencay. Tiba-tiba dalam situasi tersebut, sang pemuda yang ada di sebelah Apun menyeruak sambil menghunus condre. Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja Sang Dalem terkejut. Namun ia terlambat untukmelakukan tangkisan hingga 3 tusukan condre mengoyak lambungnya.

Gerakan kilat si pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah ia mendengar jerit Apun dan teriakan kesakitan majikannya, diikuti oleh beberapa pasukan pengawal, ia bergerak mengejar si pemuda yang sudah menghambur keluar. Terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya si pemuda ke arah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala si pemuda.

“ Tidak puas dengan hanya memenggal, Ki Purwa dan pasukannya mencincang tubuh si pemuda hingga terdiri dari beberapa potongan,”ujar Tjutju yang mengaku mendapat cerita itu dari neneknya.

Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay.Dalam linangan air mata, ia memungguti potongan daging sang kekasih sambil meratap.Ratapan itulah yang mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis kidung kematian yang tedapat dalam cerita pendeknya berjudul Apun Gencay.

Lalu bagaimana nasib Dalem Wiratanu III? Tiga jam setelah kejadian, tepatnya bada magrib, sang dalem flamboyan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya kemudian dikebumikan di komplek pekuburan keluarga yang terletak di kawasan Pamoyanan. Sejak itu pula Wiratanu III dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre.



Budayawan Cianjur, Aki Dadan (72) menyebut peristiwa terbunuhnya Wiratanu III sebagai luka yang membekas hingga kini di hati orang-orang Cianjur terutama keluarga para dalem. Begitu membekasnya, hingga sesepuh Cianjur “melarang keras” turunan Wiratanudatar untuk menyentuh condre dan pantang menikahi gadis Cikembar. “ Mitos ini dua generasi lalu masih banyak dipegang sama orang-orang tua kami,” ujarnya.

Tapi betulkah pembunuhan Wiratanu III itu murni musababnya cinta? Tak ada keterangan pasti mengenai soal itu, karena hingga kini belum ada satu pun peneliti sejarah yang mendalami tragedi menggemparkan tersebut. Namun menilik kiprah Wiratanu III yang memiliki keterlibatan jauh dalam Preanger Stelsel, kemungkinan itu bisa terjadi.

Preanger Stelsel adalah sistem pemberlakuan tanam paksa tumbuhan kopi kepada rakyat Priangan(Jawa Barat). Bekerjasama dengan para penguasa lokal yang feodal, VOCmewajibkannya sejak 15 April 1723,terpacu oleh harga kopi saat itu yang tengah menjadi “primadona dunia”. Terlebih, menurut sejarawan Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca Cianjur) merupakan salah satu kopi yang memiliki kualitas terbaik saat itu hingga laku keras di asaran dunia. Akibatnya kas keuangan pemerintah Hindia Belanda jaman Daendels pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai “gabus pelampung Belanda di tanah Hindia”,tulis sejarawan Sunda itu dalam Sejarah Bogor Bagian I.

Untuk soal tanam paksa kopi itu, Wiratanu III dikenal sebagai bupati yang sukses di mata Belanda. Dibawah pengendaliannya, pada 1724,Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit). Sebuah jumlah yang sangat fantastik saat itu. Tak aneh karena prestasinya itu, Wiratanu III disukai Belanda. Namun sebaliknya, rakyat Cianjur banyak yang tidak senang kepada Bupati Cianjur ke-3 itu hingga terjadi pembunuhan tersebut. Menurut sejarawan Sunda, Gunawan Yusuf, selain masalah cinta, ada kemungkinan pembunuhan Wiratanu III disebabkan oleh korupsi yang dilakukannya terkait bisnis kopi.

Bayaran kopi yang seharusnya perpikul dihargai 17.50 ringgit oleh Wiratanu III dibayar hanya 12.50 ringgit. Jadi ia mengorupsi 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi yang tak lain adalah rakyatnya sendiri.“ Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas dan melakukan pemberontakan yang menewaskan dirinya (Wiratanu III),” tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7.

Sayangnya versi kedua dari penyebab terbunuhnya DalemWiratanu Datar III tersebut, kurang dikenal oleh masyarakat Cianjur. Mereka lebih “suka” mengenal pembunuhan dalem mereka dalam sudut pandang yang lebih sentimentil,dramatis dan sinetronis. Kepercayaan itu pula yang hingga kini dipegang erat oleh Tjutju Soendoesiyah, ibu saya tercinta. (hendijo)

Share This Post :

0 comments:

Post a Comment

Post Terbaru

 
Copyright © 2015 Arsif NKRI.
Design by Creating Website and CB Design